Rabu, 13 Juli 2011

Kesadaran Berkonstitusi Warga Negara

MEWUJUDKAN KESADARAN BERKONSTITUSI WARGA NEGARA

MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Pengantar

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran di sekolah memiliki visi mewujudkan suatu mata pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan warga negara. Adapun misi mata pelajaran ini adalah membentuk warga negara yang baik, yakni warga negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tahun 2006 pada semua jenjang persekolahan adalah mengembangkan kompetensi: 1) Berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; 2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi; 3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; 4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Berkaitan dengan hal di atas, dapat dikatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan wahana paling strategis untuk menumbuhkan kesadaran berkonstitusi siswa sebagai warga negara. Artinya melalui program Pendidikan Kewarganegaraan, siswa memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang berlandaskan kepada nilai, norma dan moral yang tercermin dalam konstitusi negara. Oleh karena itu untuk mencapai hal tersebut diperlukan model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang efektif, yaitu model pembelajaran yang mampu menumbuhkan kesadaran dalam diri setiap siswa bahwa ia mempunyai hak dan kewajiban konstitusional yang harus diimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Konstitusi dan Kesadaran Berkonstitusi

Setiap negara merdeka mempunyai konstitusi sebagai operasionalisasi ideologi negaranya. Secara etimologi , istilah konstitusi sangat beragam dalam setiap kosakata bahasa setiap negara. Istilah konstitusi dalam bahasa Inggris adalah constitution dan constituer dalam bahasa Perancis. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Latin yaitu constitutio yang berarti dasar susunan badan. Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi disebut dengan grondwet yang terdiri atas kata grond berarti dasar dan kata wet berarti undang-undang. Dengan demikian istilah konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Kemudian, dalam bahasa Jerman istilah konstitusi disebut verfassung (Riyanto, 2000:17-19).

Dalam praktek ketatanegaraan pengertian konstitusi pada umumnya memiliki dua arti. Pertama, konstitusi mempunyai arti yang lebih luas daripada undang-undang dasar. Konstitusi meliputi undang-undang dasar (konstitusi tertulis) dan konvensi (konstitusi tidak tertulis). Dengan demikian dapat dikatakan undang-undang dasar termasuk ke dalam bagian konstitusi. Kedua, konstitusi memiliki arti yang sama dengan undang-undang dasar (KC. Where dalam Riyanto, 2000:49-51). Pengertian yang kedua ini pernah diberlakukan dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia dengan disebutnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat Tahun 1945 dengan istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.

Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan basic rights dan konstitusi itu sendiri.

Dengan demikian, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi bangsa dan negara Indonesia adalah aturan hukum tertinggi yang keberadaannya dilandasi legitimasi kedaulatan rakyat dan negara hukum. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dipandang sebagai bentuk kesepakatan bersama (general agreement) ”seluruh rakyat Indonesia” yang memiliki kedaulatan. Hal itu sekaligus membawa konsekuensi bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatur bagaimana kedaulatan rakyat akan dilaksanakan. Inilah yang secara teoretis disebut dengan supremasi konstitusi sebagai salah satu prinsip utama tegaknya negara hukum yang demokratis. Berkaitan dengan hal itu, Solly Lubis (1978:48-49) mengemukakan bahwa Undang-Undang Dasar adalah sumber utama dari norma-norma hukum tata negara. Undang-Undang Dasar mengatur bentuk dan susunan negara, alat-alat perlengkapannya di pusat dan daerah, mengatur tugas-tugas alat-alat perlengkapan itu serta hubungan satu sama lain.

Di sisi lain,harus diingat bahwa selain aturan-aturan dasar, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memuat tujuan nasional sebagai cita-cita kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Pembukaan.Antara tujuan nasional dengan aturan-aturan dasar tersebut merupakan satu kesatuan jalan dan tujuan. Agar tiap-tiap tujuan nasional dapat tercapai, pelaksanaan aturan-aturan dasar konstitusi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Selain itu, dalam sebuah kontitusi juga terkandung hak dan kewajiban dari setiap warga negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dengan pengertian agar selalu benar-benar dilaksanakan.

Sesuai dengan salah satu pengertian negara hukum, di mana setiap tindakan penyelenggara negara serta warga negara harus dilakukan berdasarkan dan di dalam koridor hukum, maka yang harus mengawal konstitusi adalah segenap penyelenggara dan seluruh warga negara dengan cara menjalankan wewenang, hak, dan kewajiban konstitusionalnya. Apabila setiap pejabat dan aparat penyelenggara negara telah memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setiap produk hukum,kebijakan,dan tindakan yang dihasilkan adalah bentuk pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal itu harus diimbangi dengan pelaksanaan oleh seluruh warga negara. Untuk itu dibutuhkan adanya kesadaran berkonstitusi warga negara, tidak saja untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang telah dibuat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi juga untuk dapat melakukan kontrol pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik dalam bentuk peraturan perundang- undangan, kebijakan, maupun tindakan penyelenggara negara (Gaffar, 2007).

Apa sebenarnya kesadaran berkonstitusi itu? Kesadaran berkonstitusi secara konseptual diartikan sebagai kualitas pribadi seseorang yang memancarkan wawasan, sikap, dan perilaku yang bermuatan cita-cita dan komitmen luhur kebangsaan dan kebernegaraan Indonesia (Winataputra, 2007). Kesadaran berkonstitusi merupakan salah satu bentuk keinsyafan warga negara akan pentingnya mengimplementasikan nilai-nilai konstitusi.

Kesadaran berkonstitusi merupakan salah bagian dari kesadaran moral. Sebagai bagian dari kesadaran moral, kesadaran konstitusi mempunyai tiga unsur pokok yaitu: 1) Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan bermoral yang sesuai dengan konstitusi negara itu ada dan terjadi di dalam setiap sanubari warga negara, siapapun, di manapun dan kapanpun; 2) Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku umum, lagi pula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan. Dengan demikian kesadaran berkonstitusi merupakan hal yang bersifat rasional dan dapat dinyatakan pula sebagai hal objektif yang dapat diuniversalkan, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap warga negara; dan 3)Kebebasan, atas kesadaran moralnya, warga negara bebas untuk mentaati berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya termasuk ketentuan konstitusi negara (Magnis-Suseno, 1975:25).

Kesadaran berkonstitusi warga negara memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat setiap warga negara dalam melaksanakan ketentuan konstitusi negara. Tingkatan-tingkatan tersebut jika dikaitkan dengan tingkatan kesadaran menurut N.Y Bull (Djahiri, 1985:24), terdiri dari: 1) Kesadaran yang bersifat anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan terhadap ketentuan konstitusi negara yang tidak jelas dasar dan alasannya atau orientasinya; 2) Kesadaran yang bersifat heteronomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi negara yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti. Ini pun kurang mantap sebab mudah berubah oleh keadaan dan situasi; 3) Kesadaran yang bersifat sosionomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan terhdap ketentuan konstitusi negara yang berorientasikan pada kiprah umum atau khalayak ramai; dan 4) Kesadaran yang bersifat autonomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi negara yang didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam diri seorang warga negara. Ini merupakan tingkatan kesadaran yang paling tinggi

Warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi merupakan warga negara yang memiliki kemelekkan terhadap konstitusi (constitutional literacy). Berkaitan dengan hal tersebut, Toni Massaro (dalam Brook Thomas,1996:637) menyatakan bahwa kemelekkan terhadap konstitusi akan mengarahkan warga negara untuk berpartisipasi melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Oleh karena itu, Winataputra (2007) mengidentifikasi beberapa bentuk kesadaran berkonstitusi bagi warga negara Indonesia yang meliputi:

1. Kesadaran dan kesediaan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia sebagai hak azasi bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: belajar/bekerja keras untuk menjadi manusia Indonesia yang berkualitas, siap membela negara sesuai kapasitas dan kualitas pribadi masing-masing, dan rela berkorban untuk Indonesia.

2. Kesadaran dan pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa sebagai rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: selalu bersyukur, tidak arogan, dan selalu berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa.

3. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik perlindungan negara.

4. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk memajukan kesejahteraan umum dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik perlindungan negara.

5. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik pencerdasan kehidupan bangsa

6. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara yang melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik hubungan luar negeri Indonesia.

7. Kemauan untuk selalu memperkuat keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menjalankan ibadah ritual dan ibadah sosial menurut keyakinan agamanya masing-masing dalam konteks toleransi antar umat beragama.

8. Kemauan untuk bersama-sama membangun persatuan dan kesatuan bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap tidak primordialistik, berjiwa kemitraan pluralistik, dan bekerja sama secara profesional.

9. Kemauan untuk bersama-sama membangun jiwa kemanusiaan yang adil dan beradab dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati orang lain seperti menghormati diri sendiri, memperlakukan orang lain secara proporsional, dan bersikap empatik pada orang lain

10. Kesediaan untuk mewujudkan komitmen terhadap keadilan dan kesejahteraan dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: tidak bersikap mau menang sendiri, tidak bersikap rakus dan korup, dan biasa berderma.

11. Kesediaan untuk mewujudkan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersifat final dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: tidak bersikap kesukuan, tidak bersikap kedaerahan, dan tidak berjiwa federalistik.

12. Kesadaran untuk menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Negara dalam kerangka kabinet presidensil dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati orang yang memegang jabatan Presiden dan Wakil Presiden, menghormati simbol-simbol kepresidenan, dan menghormati mantan Presiden/Wakil Presiden secara proporsional dan elegan.

13. Kepekaan dan ketanggapan terhadap pembentukan Kementerian yang diatur undang-undang dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan Presiden dalam penyusunan Kabinet.

14. Kesadaran dan kemampuan untuk melaksanakan Pemilu yang langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menjadi pemilih resmi yang cerdas, menjadi konstituen Calon/pasangan calon/ Partai Politik yang cerdas dan menjadi pelaksana Pemilu yang profesional.

15. Kesadaran akan kesejajaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dengan perwujudan perilaku sehari- kontrol dan saling imbang (check and balance), cerdas dalam bersikap terhadap DPR/DPRD dan Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan kritis terhadap DPR/DPRD dan Pemerintah/Pemerintah Daerah.

16. Kesadaran untuk mendukung pelaksanakan otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati Pemerintah Daerah, menjalankan Peraturan Daerah yang relevan, dan berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan daerah.

17. Kepekaan dan ketanggapan terhadap akuntabilitas publik keuangan negara dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik pengelolaan keuangan negara.

18. Kesadaran dan kemauan untuk menjaga wilayah negara dengan konsep wawasan nusantara dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: memahami dengan baik konsep wawasan nusantara, memelihara lingkungan alam dengan baik, dan mengelola kekayaan alam sesuai peraturan perundang-undangan.

19. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kedudukan kehakiman yang merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan perwujudan perilaku sehari-hariantara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik dalam bidang peradilan.

20. Kesadaran dan kemauan untuk turut serta melakukan perlindungan dan pemajuan hak azasi manusia (politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan agama) dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: memahami hak dan kewajiban warga negara dan hak azasi manusia secara utuh, bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik yang terkait langsung/tak langsung dengan berbagai dimensi hak azasi manusia.

21. Kesadaran dan kesediaan untuk menghormati Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menyimpan Sang Merah Putih pada tempat yang tepat dan baik, memberi hormat pada saat Sang Merah Putih sedang dinaikkan/diturunkan, dan tidak merusak Sang Merah Putih dengan alasan apapun.

22. Kesadaran akan peran dan kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara secara baik dan benar dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menguasai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan berpartisipasi dalam memperkaya dan mengembangkan Bahasa Indonesia.

23. Kesediaan untuk menghormati Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Lambang Negara dengan perwujudan perilaku sehari-hari.

24. Kesadaran akan makna dan kemampuan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: mampu menyanyikan Lagu Indonesia Raya dengan benar dan baik, dan tidak memplesetkan kata-kata/nada dari Lagu Indonesia Raya untuk tujuan apapun.

Berbagai bentuk kesadaran berkonstitusi warga negara sebagaimana diuraikan di atas dapat dapat terwujud jika didukung oleh berbagai faktor yang mendorong terciptanya warga negara yang sadar berkonstitusi, salah satunya adalah dengan pendidikan berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan berkonstitusi merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk menciptakan warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi.

Rasionalisasi Implementasi Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi Melalui Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam hidup bernegara, kita dapat menemukan beberapa aturan yang mengatur bagaimana pemerintahan dijalankan. Misalnya, siapa yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dan bagaimana kekuasaan tersebut diperoleh. Selain itu, Kita juga dapat menemukan beberapa aturan yang sama sekali tidak berhubungan dengan cara-cara pemerintahan dijalankan. Misalnya, bagaimana aturan mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya dan bagaimana cara mencari keadilan jika hak dilanggar orang lain.

Pada saat kita menemukan aturan atau hukum yang berisi ketentuan yang mengatur bagaimana pemerintah dijalankan, artinya kita telah menemukan bagian dari konstitusi. Konstitusi adalah seperangkat aturan atau hukum yang berisi ketentuan tentang bagaimana pemerintah diatur dan dijalankan. Oleh karena aturan atau hukum yang terdapat dalam konstitusi itu mengatur hal-hal yang amat mendasar dari suatu negara, konstitusi dikatakan pula sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Karena kedudukannya yang amat penting itu, konstitusi harus dipahami seluruh warga negara.

Persoalan yang terjadi di Indonesia saat ini yang ada kaitannya dengan pemahaman warga negara terhadap konstitusi adalah semakin meluasnya materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai dampak dari dilakukannya perubahan konstitusi sebanyak empat kali. Sebelum perubahan, UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan. Setelah perubahan, UUD 1945 berisi 199 butir ketentuan atau bertambah sekitar 141%. Dari 199 butir ketentuan tersebut, naskah UUD 1945 yang masih asli tidak mengalami perubahan hanya sebanyak 25 butir ketentuan (12%), sedangkan selebihnya sebanyak 174 butir ketentuan (88%) merupakan materi baru. Hal tersebut menyebabkan paradigma pemikiran yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 juga benar-benar berbeda dari paradigma yang terkandung dalam naskah asli, ketika UUD 1945 pertama kali disahkan 18 Agustus 1945. Seandainya semua warga negara Indonesia sudah mengetahui seluruh isi UUD 1945 sebelum perubahan, sebenarnya pada saat sekarang ini hanya mengetahui 25 butir ketentuan (12%) dari UUD 1945, sedangkan 174 butir ketentuan (88%) masih banyak belum dimengerti. Itulah sebabnya perlu upaya sungguh-sungguh untuk melakukan pendidikan kesadaran berkonstitusi (Budimansyah dan Suryadi).

Sekaitan dengan hal di atas, pendidikan kesadaran berkonstitusi merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk menciptakan warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi. Hal tersebut pada hakekatnya sudah digariskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Misalnya, dalam usulan BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan bahwa “Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warganegara yang mempunyai rasa tanggung jawab”,) yang kemudian oleh Kementrian PPK dirumuskan dalam tujuan pendidikan: ”…untuk mendidik warganegara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat”. Selanjutnya dalam UU Nomor 4 Tahun 1950, dalam Bab II Pasal 3 (Djojonegoro,1996:76) dirumuskan secara lebih eksplisit menjadi : “…membentuk manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”, dan dalam UU Nomor 12 Tahun 1954 yang dilengkapi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 145 Tahun 1965 dan rumusannya diubah menjadi : “…melahirkan warganegara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan jang berjiwa Pancasila”. Kemudian dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah: “…mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,…”, yang ciri-cirinya dirinci menjadi “…beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan..” (Pasal 4 UU No. 2/1989). Dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 3 digariskan dengan tegas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk ”...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. Dengan kata lain sejak tahun 1945 sampai sekarang instrumen perundangan sudah menempatkan pendidikan kesadaran berkonstitusi sebagai bagian integral dari pendidikan nasional.

Dalam tatanan instrumentasi kurikuler, secara historis dalam kurikulum sekolah terdapat mata pelajaran yang secara khusus mengemban misi pendidikan berkonstitusi, yakni mata pelajaran Civics (Kurikulum 1957/1962); Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan Integrasi Sejarah, Ilmu Bumi, dan Kewarganegaraan (Kurikulum 1964); Pendidikan Kewargaan Negara, yang merupakan perpaduan Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia, dan Civics (Kurikulum 1968/1969); Pendidikan Kewargaan Negara dan Civics & Hukum (1973); Pendidikan Moral Pancasila atau PMP (Kurikulum 1975 dan 1984); dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn (Kurikulum 1994). Sedangkan di perguruan tinggi pernah ada mata kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD 1945, (1960-an), kemudian Filsafat Pancasila (1970-1980-an, dan Pendidikan Pancasila (1980-1990-an). Dalam mata pelajaran/mata kuliah tersebut baik secara tersurat maupun tersirat terdapat materi tentang pendidikan berkonstitusi. Sementara itu dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai paket Penataran P-4 (sejak 1970-an s/d 1990-an), yang juga mengandung tujuan dan materi pendidikan berkonstitusi. Kini, dalam Pasal 37 UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dinyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan, yang merupakan wahana pokok pendidikan kesadaran berkonstitusi, merupakan salah satu muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan tinggi.

Berdasarkan kenyataan tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai peranan yang strategis dalam mengimplementasikan pendidikan kesadaran berkonstitusi. Hal ini dikarenakan salah satu misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai pendidikan politik, yakni membina siswa untuk memahami hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga negara, termasuk di dalamnya memahami konstitusi (melek konstitusi). Selain itu, materi muatan konstitusi seperti organisasi negara, hak-hak asasi manusia, cita-cita rakyat, dan asas-asas ideologi negara amat relevan untuk memperkaya materi Pendidikan Kewarganegaraan. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan peran Pendidikan Kewarganegaraan tersebut, diperlukan upaya untuk memperkuat konsep Pendidikan Kewarganegaraan sebagai media pendidikan kesadaran berkonstitusi.

Berkaitan dengan hal di atas, Winaputra (2007) mengemukakan beberapa asumsi mengenai perlunya penguatan konsep mengenai kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai media pendidikan berkonstitusi, diantaranya:

1. Komitmen nasional untuk memfungsikan pendidikan sebagai wahana untuk ”mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pasal 3 UU RI 20 tahun 2003) memerlukan wahana psiko-pedagogis (pengembangan potensi peserta didik di sekolah) dan sosio-andragogis (fasilitasi pemberdayaan pemuda dan orang dewasa dalam masyarakat) yang memungkinkan terjadinya proses belajar berdemokrasi sepanjang hayat dalam konteks kehidupan berkonstitusi.

2. Transformasi demokrasi dalam kehidupan berkonstitusi Indonesia memerlukan konsepsi yang diyakini benar dan bermakna yang didukung dengan sarana pendidikan yang tepat sasaran, tepat strategi, dan tepat konteks agar setiap individu warganegara mampu memerankan dirinya sebagai warganegara yang sadar konstitusi, cerdas, demokratis, berwatak, dan berkeadaban.

3. Pendidikan berkonstitusi yang dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam konteks pendidikan formal, nonformal, dan informal selama ini belum mencapai sasaran optimal dalam mengembangkan masyarakat yang cerdas, baik, berwatak, dan berkeadaban. Untuk itu diperlukan upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan model pendidikan berkonstitusi yang secara teoritis dan empiris valid, dan secara kontekstual handal dan akseptabel untuk kehidupan demokrasi di Indonesia.

4. Secara psiko-pedagogis dan sosio-andragogis, pendidikan berkonstitusi yang dianggap paling tepat adalah pendidikan untuk mengembangkan kewarganegaraan yang demokratis (education for democratic citizenship), yang di dalamnya mewadahi pendidikan tentang, melalui, dan untuk membangun demokrasi konstitusional (education about, through, and for democracy).

5. Untuk mendapatkan model pendidikan berkonstitusi dalam rangka pendidikan kewarganegaraan yang secara psiko-pedagogis dan secara sosio-andragogis akseptabel dan handal, diperlukan upaya untuk mengkaji kekuatan konteks, kehandalan masukan, dan proses guna menghasilkan perilaku warganegara Indonesia yang sadar dan hidup berkonstitusi menurut UUD 1945.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang Relevan untuk Mengimplementasikan Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan program pendidikan yang dapat dioperasionalisasikan dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran. Hal ini dikarenakan Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai banyak sekali alternatif metode pembelajaran yang senantiasa mampu menyesuaikan diri dan berkembang sesuai dengan kebutuhan proses pembelajaran.

Berkaitan dengan hal tersebut, implementasi pendidikan kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alternatif model pembelajaran, diantaranya adalah:

1. Model Law-Related Education atau Pendidikan Terkait Hukum (PTH).

Model ini diangkat oleh Newman (Winataputra, 2007) untuk memfasilitasi proses internalisasi konsep, nilai, dan norma yang terkandung dalam konstitusi dan sejenisnya. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik, yang notabene adalah warga negara muda calon pemimpin bangsa dan negara di masa depan, mengerti dan menyadari betul bahwa dalam suatu negara demokratis penegakan hukum bukanlah semata-mata untuk tegaknya hukum secara formal dalam proses peradilan, tetapi juga untuk terpenuhinya rasa keadilan secara materiil dalam kenyataan hidup masyarakat negara.

2. Model Jurisprudential Inquiry

Model ini diangkat oleh Joyce dan Weil. Model ini bertujuan untuk memfasilitasi peserta didik dalam belajar civic/citizenship education guna menginternalisasi hakekat dan proses penetapan kebijakan publik melalui proses proyek belajar pemecahan masalah. Isu kebijakan publik yang paling cocok dibelajarkan dengan model ini antara lain mencakup keadilan, pemerataan, kemiskinan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Strategi pembelajaran yang disarankan untuk digunakan dalam model ini antara lain adalah Socratic dialogue yang ditandai dengan tanya jawab dialektis, penggunaan analogi, dan refleksi mendalam dengan peranan guru sebagai penguji posisi pandangan peserta didik melalui rangkaian pertanyaan probing baik yang berbentuk probing-lifting maupun probing-extending. Probing-lifting digunakan untuk menantang proses berpikir dari tahap sederhana ke tahap yang semakin kompleks, dan probing-extending digunakan untuk menantang proses berpikir dari hal yang sempit ke hal yang semakin meluas.

3. Model We the People...Project Citizen

Model ini dikembangkan dan didiseminasikan oleh Center for Civic Education melalui jaringan CIVITAS International. Model ini pada dasarnya bertolak dari pendekatan Project John Dewey yang direkonstruksi sebagai social inquiry project dan group investigation yang terfokus pada kajian dan partisipasi warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik. Tujuan dari model ini adalah berkembangnya kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi masalah, memilih masalah untuk dipecahkan secara kelompok, mengidentifikasi dan memilih pemecahan masalah, merumuskan usulan kebijakan, dan menyosialisasikan usulan kebijakan agar mendapat dukungan luas. Dengan cara itu peserta didik akan semakin peka, tanggap, dan kontributif terhadap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik di lingkungannya. Kunci dari model ini adalah proses kajian konstitusionalitas dari proses pembuatan dan penerapan kebijakan publik itu. Strategi pembelajaran yang utama dalam model ini adalah pemecahan masalah sosial terkait kebijakan publik secara kelompok dan simulasi dengar pendapat (simulated public hearing) sebagai wahana psiko-pedagogis untuk melatih keterampilan argumentasi secara terbuka, kritis, dan konstruktif melalui cara bedah kasus yang secara umum dikenal dengan show-case (Bennet, 2005).

4. Model Teaching with Primary Source Documents atau dapat juga disebut Model Belajar Berbantuan Arsip Negara.

Model yang dikembangkan oleh Potter (dalam Winataputra, 2007) memiliki makna yang sangat besar dalam pengembangan kesadaran kebernegaraan dalam hal memfasilitasi peserta didik untuk menjadi ...engaged citizens, aware of their rights, duties, and responsibilities and able to act upon these when confronted with real issues. Strategi pembelajaran yang digunakan mengikuti langkah-langkah Proyek-Belajar, yaitu: (1) menentukan bagian dari dokumen yang masih bisa digunakan; (2) menentukan kaitan isi dokumen dengan kompetensi dalam kurikulum; (3) memetakan kaitan isi dokumen dengan isu atau konsep yang menjadi fokus pembelajaran; (4) menentukan manfaat personal apa bagi peserta didik dari dokumen tersebut; (5) membangun konteks pembelajaran terkait dokumen; (6) memanfaatkan dokumen yang relevan sebagai sumber belajar; (7) memanfaatkan dokumen terpilih untuk memunculkan berbagai pertanyaan kritis; dan (8) memerankan peserta didik untuk menjadi sejarahwan-politik-kecil dalam mengkaji dokumen dengan menggunakan metode sejarah. Dalam konteks Indonesia model ini dapat digunakan untuk memfasilitasi peserta didik memahami secara mendalam, menangkap makna, dan memiliki empati terhadap peristiwa sejarah politik Indonesia, seperti Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Peristiwa G30S/PKI 1965, Surat Perintah 11 Maret 1966, dan Peristiwa Malari 1974.

Model-model di atas dapat membantu guru untuk menghindari indoktrinasi dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini dikarenakan dalam membelajarkan materi yang berhubungan dengan konstitusi negara, adakalanya jika tidak menggunakan metode yang tepat guru akan terjebak pada proses pembelajaran yang indoktrinatif. Oleh karena itu, dengan menggunakan model-model pembelajaran yang demokratis seperti yang diuraikan diatas, guru dapat terhindar dari hal tersebut, sehingga pendidikan kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan dapat dioperasionalisasikan secara efektif.

Desain Model Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Upaya Meningkatkan Kesadaran Berkonstitusi Warga Negara

Bertolak dari berbagai konsep yang digali dari kerangka teori Pendidikan Kewarganegaraan dan beberapa model pembelajaran yang selama ini berkembang dalam instrumentasi dan praksis pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, berikut ini dikembangkan paradigma generik pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk meningkatkan kesadaran berkonstitusi warga negara dengan mengambil contoh materi pokok: Upaya Pemajuan, Penghormatan, dan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Model pembelajaran memiliki elemen-elemen: materi pokok, kompetensi kewarganegaraan, indikator hasil belajar, strategi belajar, situs dan sumber belajar, penilaian, dan refleksi. Berikut ini desain model pembelajaran tersebut.

Desain Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaan

untuk Meningkatkan Kesadaran Berkonstitusi Warga negara

Jenjang Pendidikan : Sekolah Menengah Atas

Kelas/Semeter : I / 1

Materi Pokok : Upaya Pemajuan, Penghormatan, dan

Perlindungan Hak Asasi Manusia.

Alokasi Waktu : 8 x 45 menit (4 kali pertemuan)

1. Materi Pokok

Upaya Pemajuan, Penghormatan, dan Perlindungan Hak Asasi Manusia

2. Kompetensi Kewarganegaraan

Kesadaran dan kemauan untuk turut serta melakukan uoaya pemajuan, penghormatan, dan perlindungan hak azasi manusia (politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan agama) dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: memahami hak dan kewajiban warga negara dan hak azasi manusia secara utuh, bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik yang terkait langsung/tak langsung dengan berbagai dimensi hak azasi manusia.

3. Indikator Hasil Belajar

Perilaku peserta didik yang diharapkan dapat dikembangkan melalui dan menjadi indikator keberhasilan proses pembelajaran, antara lain dapat:

a. menjelaskan pengertian Hak Asasi Manusia;

b. mengindentifikasi macam-macam Hak asasi Manusia;

c. mengidentifikasi berbagai instrumen Hak Asasi Manusia di Indonesia dan di tingkat internasional;

d. mengidentifikasi berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia dan negara lain;

e. menganalisis upaya pemajuan, penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia baik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia maupun pengadilan HAM internasional;

f. memerankan tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia di Indonesia;

g. menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia;

h. melakukan simulasi persidangan atas perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia;

i. melakukan refleksi/evaluasi atas proses pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia baik di Indonesia maupun di tingkatan internasional.

5. Strategi Pembelajaran

Pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan Model Praktik-Belajar: ”... Aku Warganegara Indonesia”. Model ini menerapkan secara adaptif prinsip-prinsip yang digali dari model Project Citizen, Law-Related Education, Jurisprudential Inquiry dan Group Investigation. Dalam model ini ditetapkan langkah-langkah:

a. mengidentifikasi masalah-masalah yang tercatat muncul dalam upaya pemajuan, pemghormatan dan perlindungan hak asasi manusia baik di Indonesia ataupun negara lainnya;

b. memilih suatu masalah yang paling pelik dalam upaya pemajuan, pemghormatan dan perlindungan hak asasi manusia baik di Indonesia ataupun negara lainnya untuk dikaji oleh kelas;

c. mengumpulkan informasi yang terkait pada masalah itu melalui studi kepustakaan, dokumentasi, dan komunikasi dengan nara sumber;

d. mengembangkan portofolio kelas melalui diskusi, simulasi, dan bermain peran;

e. menyajikan portofolio kelas dalam suatu simulasi dengar pendapat (simulated public hearing);

f. melakukan refleksi pengalaman belajar dalam suatu pertemuan klasikal yang dipimpin oleh guru.

Dalam setiap langkah siswa difasilitasi untuk belajar secara mandiri dalam kelompok kecil dengan menggunakan aneka ragam sumber belajar di sekolah dan di luar sekolah (manusia, bahan tertulis, bahan terrekam, bahan tersiar, alam sekitar, artifak, situs sejarah, dan lain-lain). Dalam model ini berbagai keterampilan dikembangkan, seperti: membaca, mendengar pendapat orang lain, mencatat, bertanya, menjelaskan, memilih, merumuskan, menimbang, mengkaji, memerankan tokoh tertentu, mendramatisasikan peristiwa, merancang perwajahan, menyepakati, memilih pimpinan, membagi tugas, menarik perhatian, berargumentasi, dan lian-lain.

Portofolio merupakan tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis yang melukiskan proses berfikir yang didukung oleh seluruh data yang relevan, yang secara utuh melukiskan integrated learning experiences atau pengalaman belajar yang terpadu yang dialami oleh siswa dalam kelas sebagai suatu kesatuan. Portofolio terbagi dalam dua bagian, yakni “portofolio tampilan” dan “portofolio dokumentasi”. Portofolio tampilan berbentuk papan empat muka berlipat yang secara berurutan menyajikan:

1) rangkuman permasalahan yang dikaji;

2) berbagai alternatif pemecahan masalah;

3) usulan kebijakan untuk memecahkan masalah;

4) pengembangan rencana kerja/tindakan.

Sedangkan portofolio dokumentasi dikemas dalam Map Ordner atau sejenisnya yang disusun secara sistematis mengikuti urutan portofolio tampilan. Portofolio tampilan dan dokumentasi selanjutnya disajikan dalam suatu simulasi public hearing atau dengar pendapat yang menghadirkan pejabat setempat yang terkait dengan masalah portofolio tersebut.

6. Situs dan Sumber Belajar

Situs belajar (site of citizenship) adalah tatanan fisik dan sosial-kultural dalam pengertian statis dan dinamis yang dikelola demikian rupa sehingga memberikan suasana psiko-pedagogis yang optimal bagi berkembangnya kesadaran hidup berkonstitusi, khususnya dalam kaitannya dengan substansi upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam model ini yang menjadi situs belajar adalah iklim kelas dan iklim sekolah yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta lingkungan di luar sekolah yang mencerminkan kehidupan yang diwarnai oleh penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia.

7. Penilaian

Penilaian terhadap perilaku peserta didik yang dikembangkan dengan menggunakan tes tertulis, daftar cek (check list), dan catatan anekdotal (anecdotal note) dilakukan dengan cara mengkaji keterampilan indikator perilaku yang mencerminkan kemampuan-kemampuan sebagai berikut:

a. menjelaskan pengertian Hak Asasi Manusia (tes tertulis);

b. mengindentifikasi macam-macam Hak asasi Manusia (tes tertulis);

c. mengidentifikasi berbagai instrumen Hak Asasi Manusia di Indonesia dan di tingkat internasional (tes tertulis);

d. mengidentifikasi berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia dan negara lain (tes tertulis);

e. menganalisis upaya pemajuan, penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia baik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia maupun pengadilan HAM internasional (tes tertulis);

f. memerankan tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia di Indonesia (daftar cek);

g. menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia (daftar cek);

h. melakukan simulasi persidangan atas perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (daftar cek).

8. Refleksi

Refleksi adalah proses pengungkapan pengalaman reflektif/evaluatif mengenai keseluruhan permasalahan dalam proses pemajuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan melakukan refleksi guru memberikan penguatan klasikal dan individual berkaitan dengan keseluruhan proses pembelajaran dan ketertampilan kompetensi yang menjadi tumpuan dan muara dari keseluruhan proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesadaran berkonstitusi siswa selaku warga negara.

Desain model pembelajaran di atas merupakan salah satu dari sekian banyak model pembelajaran dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Kunci keberhasilannya terletak pada kemauan dan ketertarikan seluruh stakeholders Pendidikan Kewarganegaraan terutama guru untuk mengoperasionalisasikan berbagai model pembelajaran yang mendukung pada penguatan peran dan kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana untuk meningkatkan kesadaran berkonstitusi siswa yang notabene merupakan warga negara muda (young citizen).

Penutup

Pendidikan kesadaran berkonstitusi merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk menciptakan warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi. Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai peranan yang strategis dalam mengimplementasikan pendidikan kesadaran berkonstitusi. Hal ini dikarenakan salah satu misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai pendidikan politik, yakni membina siswa untuk memahami hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga negara, termasuk di dalamnya memahami konstitusi (melek konstitusi). Selain itu, materi muatan konstitusi seperti organisasi negara, hak-hak asasi manusia, cita-cita rakyat, dan asas-asas ideologi negara amat relevan untuk memperkaya materi Pendidikan Kewarganegaraan.

Implementasi pendidikan kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alternatif model pembelajaran, diantaranya adalah model Law-Related Education atau Pendidikan Terkait Hukum (PTH); Jurisprudential Inquiry; Model We the People...Project Citizen; Model Teaching with Primary Source Documents atau Model Belajar Berbantuan Arsip Negara. Model-model tersebut membantu guru untuk menghindari indoktrinasi dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

Daftar Pustaka

Bennett, S.F. (2005). We the People: The Citizen and the Constitution 2005 National Finalists’ Knowledge of and Support for American Democratic Institution and Processes. [Online]. Tersedia: http://www.civiced.org . html [4 Desember 2007]

Budimansyah, D dan Suryadi, K. (2008). PKn dan Masyarakat Multikultural. Bandung: Program Studi PKn SPs UPI.

Djahiri, A.K. (1985). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT. Bandung: Jurusan PMPKN IKIP Bandung.

Djoyonegoro, W. (1996). Lima Puluh Tahun Pendidikan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Faiz, P. M. (2007). Menabur Benih Constitutional Complain. [Online]. Tersedia: http://www.yahoo.com/pqdweb. Html [20 Oktober 2007]

Gaffar, J.M. (2007). Mengawal Konstitusi. [Online]. Tersedia: http://www.koransindo.com Html [25 Oktober 2007]

Magnis-Suseno, F.V. (1985). Etika Umum. Yogyakarta: Kanisius.

Massaro, T.M. (1993). Constitutional Literacy; A Core Curriculum for a Multicultural Nation. London: Duke University Press

Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [Online]. Tersedia: http://www.dpr.go.id . html [4 Desember 2007]

________. (2002). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.. [Online]. Tersedia: http://www.dpr.go.id . html [4 Desember 2007]

Riyanto, A.(2000). Teori Konstitusi. Bandung: Yapemdo

Lubis, M.S. (1978). Asas-asas Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni

Thomas, B. (1996). Constitutional Literacy: Plessy and Brown in The Writing Class. [Online]. Tersedia: http://www.proquest/pqdweb.com. html [20 November 2007)

Winataputra, U.S. (2007). Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi: Alternatif Model Pembelajaran Kreatif-Demokratis untuk Pendidikan Kewarganegaraan. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id . html [4 Desember 2007]

Winataputra, U.S. dan Dasim Budimansyah. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar